Jumat, 08 Juli 2011

Sejarah Tentang Hachiko

PATUNG HACHIKO


Sejarah manusia akrab dengan penghianatan. Penghianatan baik terhadap sesama manusia , teman , sahabat , kekasih , keluarga , saudara , bangsa dan negaranya.

Akechi Mitsuhide adalah Brutus-nya Jepang. Dia membokong sang majikan , Oda Nobunaga , dan merubah jalan sejarah Jepang untuk ke depannya. Wu San Gui “mempersilahkan” pasukan Manchu menjajah bangsanya. Berbagai kolaburator muncul di masa Perang Dunia II. Prancis Vichy , Quisling di Norwegia . Judas Iskariot adalah contoh alkitabiah bagaimana seorang guru di hianati murid.

Seiring peradaban manusia yang melangkah maju seakan terjadi dekadensi moral . Saya menyebutnya melangkah maju tapi mundur kebelakang – moon walking. Tidak saja penghianatan terjadi dalam konteks kebangsaan , keagamaan tapi juga , fairya tale selebritis , sampai ke elemen terkecil dalam masyarakat. Dimana nilai persahabatan tidak lagi yang terutama , dan sudah terpolitisasi dengan nilai politik . Tidak ada kawan yang abadi yang ada hanya kepentingan yang abadi.Baru saja terjadi di Indonesia . Seorang mahasiswi di kampus ternama di Jakarta , di tusuk bertubi-tubi oleh temannya .

“Et Tu Brute” – Julius Caesar

Seiring peradaban manusia yang melangkah maju seakan terjadi dekadensi moral . Saya menyebutnya melangkah maju tapi mundur kebelakang – moon walking. Tidak saja penghianatan terjadi dalam konteks kebangsaan , keagamaan tapi juga , fairya tale selebritis , sampai ke elemen terkecil dalam masyarakat. Dimana nilai persahabatan tidak lagi yang terutama , dan sudah terpolitisasi dengan nilai politik . Tidak ada kawan yang abadi yang ada hanya kepentingan yang abadi.Baru saja terjadi di Indonesia . Seorang mahasiswi di kampus ternama di Jakarta , di tusuk bertubi-tubi oleh temannya .

Manusia sudah mencapai puncak evolusinya sambil moon walking. Dari wajah lugu Hominid , menjadi Homo Erectus , menjadi Homo Sapiens , dan akhirnya ultimate primata , Homo Homini Lupus.

Akhirnya segelintir manusia lebih takut kepada sesama manusia daripada setan sekalipun. Beberapa lebih aman sembunyi dalam rumah , dalam kamar , membangun parit-parit perlindungan , membangun tembok berlin yang membatasi dirinya dan sisa dunia. Suatu ketakutan yang wajar di kala manusia sudah semakin beringas.

Suatu ketika bahkan mantan boss saya berani menghardik salah seorang pegawainya.

” Aku lebih baik bersahabat dengan seekor Anjing. Anjing akan setia pada siapa yang merawat dan memberi makan.”


Hachiko Monogatari



Hachiko Monogatari adalah kisah kesetiaan seekor Anjing. Harian terkenal menyebutnya sebagai “remarkable loyalty”. Hachiko ini menjadi mendunia sejak puluhan tahun kematiannya. Seekor anjing yang protagonis ketimbang antagonisnya para penghuni kuil Yasukuni. Holywood sampai memandang perlu melakukan remake ulang film Hachiko.

Hachiko adalah seekor anjing jantan dari ras Akita Inu. Dia lahir di bulan Oktober tahun 1923. Pemiliknya adalah seorang Professor Agrikultur di Universitas Tokyo , Hidesaburo Ueno. Kegiatan sehari-hari Hachiko adalah menunggu kedatangan majikannya pulang dan memberi salam.

Suatu hari di tahun 1925 , majikannya tidak pernah kembali lagi. Hachiko sempat berpindah-pindah ke tempat yang bersedia menampungnya. Hachiko yang terbiasa menunggu majikannya mulai resah dan mencari di stasiun kereta Shibuya , tempat di mana Hachiko sering di ajak majikannya. Dan itu di lakukan setiap hari selama sembilan tahun hingga akhir hayatnya.Para penumpang kereta juga terbiasa melihat Hachiko dan sering memberi makan selama Hachiko menunggu majikannya dengan sia-sia.

Hachiko Monogatari ini menjadi terkenal sejak seorang bekas anak didik profesor mempublikasikan artikel-artikel mengenai Hachiko. Dan salah satu artikelnya di muat di harian terbesar di Jepang pada masa itu, Asahi Shimbun. Segera Hachiko menjadi pusat perhatian nasional. Nama Hachi resmi menjadi Hachiko (tambahan “ko”).

Di tahun 1937. Kisah Hachiko, “On o wasureruna” juga menjadi bacaan wajib bagi sekolah sekolah dasar di Jepang. Menanamkan nilai -nilai kesetiaan pada pelajar sejak dini. Kisah Hachiko juga menjadi simbol kesetiaan bagi bangsa Jepang.

Di tahun 1934. Seorang master seni , membuatkan patung untuk Hachiko di kawasan Shibuya . Hachiko sendiri turut menyaksikan bersama 300 orang lainnya. Dan Patung itu kini menjadi pusat perayaan setiap tanggal 8 Maret , sebuah perayaan untuk devosi terhadap Hachiko. Hachiko sekarang berada di Museum Nasional Jepang di Ueno.

Saat Holywood memfilmkan Hachiko dan di bintangi oleh Richard Gere. Japan Times menyebutnya sebagai “Hollywood the latest to fall for tale of Hachiko” , sebagai bukti bahwa Hachiko Monogatari sudah mendunia dan juga menginspirasi dunia.

“Hollywood the latest to fall for tale of Hachiko” – Japan Times 2009

Dan Richard Gere menangis saat membaca pertama kali kisah Hachiko ini.Dia menangis seperti bayi dan terus menangis saat membacanya kembali. Gere menggambarkannya sebagai “love story” terlepas dari urusan gender dan spesies

“I cried like a baby” when reading the script, Gere said. “I wasn’t sure if it was just a very sensitive reaction I had that day, so I read it again a few days later and had the same reaction.”This is a love story,” said Gere, who plays the professor. “It has nothing to do with gender or species.” – CBS News

Hachiko Monogatari seakan menghardik manusia tentang kemanusiaan. Bagaimana seekor anjing bisa mengalahkan manusia dalam soal esensi kemanusiaan , yaitu persahabatan. Bagaimana persahabatan menjadi langka di saat manusia menjadi semakin beringas.


foto asli hachiko


HACHIKO VERSI AMERIKA


imutan yang Versi amrik yah Anjingnya....
diambil dari : http://zifa-kireiwazifa.blogspot.com/2010/03/masuk-dalam-sejarah-jepang-hachiko.html


Seorang Profesor setengah tua tinggal sendirian di Kota Shibuya. Namanya Profesor Hidesamuro Ueno. Dia hanya ditemani seekor anjing kesayangannya, Hachiko. Begitu akrab hubungan anjing dan tuannya itu sehingga kemanapun pergi Hachiko selalu mengantar. Profesor itu setiap hari berangkat mengajar di universitas selalu menggunakan kereta api.. Hachiko pun setiap hari setia menemani Profesor sampai stasiun. Di stasiun Shibuya ini Hachiko dengan setia menunggui tuannya pulang tanpa beranjak pergi sebelum sang profesor kembali. Dan ketika Profesor Ueno kembali dari mengajar dengan kereta api, dia selalu mendapati Hachiko sudah menunggu dengan setia di stasiun. Begitu setiap hari yang dilakukan Hachiko tanpa pernah bosan.
Musim dingin di Jepang tahun ini begitu parah. Semua tertutup salju. Udara yang dingin menusuk sampai ke tulang sumsum membuat warga kebanyakan enggan ke luar rumah dan lebih memilih tinggal dekat perapian yang hangat.
Pagi itu, seperti biasa sang Profesor berangkat mengajar ke kampus. Dia seorang profesor yang sangat setia pada profesinya. Udara yang sangat dingin tidak membuatnya malas untuk menempuh jarak yang jauh menuju kampus tempat ia mengajar. Usia yang semakin senja dan tubuh yang semakin rapuh juga tidak membuat dia beralasan untuk tetap tinggal di rumah. Begitu juga Hachiko, tumpukan salju yang tebal dimana-mana tidak menyurutkan kesetiaan menemani tuannya berangkat kerja. Dengan jaket tebal dan payung yang terbuka, Profesor Ueno berangkat ke stasun Shibuya bersama Hachiko.
Tempat mengajar Profesor Ueno sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Tapi memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Profesor untuk naik kereta setiap berangkat maupun pulang dari universitas.
Kereta api datang tepat waktu. Bunyi gemuruh disertai terompet panjang seakan sedikit menghangatkan stasiun yang penuh dengan orang-orang yang sudah menunggu itu. Seorang awak kereta yang sudah hafal dengan Profesor Ueno segera berteriak akrab ketika kereta berhenti. Ya, hampir semua pegawai stasiun maupun pegawai kereta kenal dengan Profesor Ueno dan anjingnya yang setia itu, Hachiko. Karena memang sudah bertahun-tahun dia menjadi pelanggan setia kendaraan berbahan bakar batu bara itu.
Setelah mengelus dengan kasih sayang kepada anjingnya layaknya dua orang sahabat karib, Profesor naik ke gerbong yang biasa ia tumpangi. Hachiko memandangi dari tepian balkon ke arah menghilangnya profesor dalam kereta, seakan dia ingin mengucapkan,” saya akan menunggu tuan kembali.”
“Anjing manis, jangan pergi ke mana-mana ya, jangan pernah pergi sebelum tuan kamu ini pulang!” teriak pegawai kereta setengah berkelakar.
Seakan mengerti ucapan itu, Hachiko menyambut dengan suara agak keras,”guukh!”
Tidak berapa lama petugas balkon meniup peluit panjang, pertanda kereta segera berangkat. Hachiko pun tahu arti tiupan peluit panjang itu. Makanya dia seakan-akan bersiap melepas kepergian profesor tuannya dengan gonggongan ringan. Dan didahului semburan asap yang tebal, kereta pun berangkat. Getaran yang agak keras membuat salju-salju yang menempel di dedaunan sekitar stasiun sedikit berjatuhan.
Di kampus, Profesor Ueno selain jadwal mengajar, dia juga ada tugas menyelesaikan penelitian di laboratorium. Karena itu begitu selesai mengajar di kelas, dia segera siap-siap memasuki lab untuk penelitianya. Udara yang sangat dingin di luar menerpa Profesor yang kebetulah lewat koridor kampus.
Tiba-tiba ia merasakan sesak sekali di dadanya. Seorang staf pengajar yang lain yang melihat Profesor Ueno limbung segera memapahnya ke klinik kampus. Berawal dari hal yang sederhana itu, tiba-tiba kampus jadi heboh karena Profesor Ueno pingsan. Dokter yang memeriksanya menyatakan Profesor Ueno menderita penyakit jantung, dan siang itu kambuh. Mereka berusaha menolong dan menyadarkan kembali Profesor. Namun tampaknya usaha mereka sia-sia. Profesor Ueno meninggal dunia.
Segera kerabat Profesor dihubungi. Mereka datang ke kampus dan memutuskan membawa jenazah profesor ke kampung halaman mereka, bukan kembali ke rumah Profesor di Shibuya.
Menjelang malam udara semakin dingin di stasiun Shibuya. Tapi Hachiko tetap bergeming dengan menahan udara dingin dengan perasaan gelisah. Seharusnya Profesor Ueno sudah kembali, pikirnya. Sambil mondar-mandir di sekitar balkon Hachiko mencoba mengusir kegelisahannya. Beberapa orang yang ada di stasiun merasa iba dengan kesetiaan anjing itu. Ada yang mendekat dan mencoba menghiburnya, namun tetap saja tidak bisa menghilangkan kegelisahannya.
Malam pun datang. Stasiun semakin sepi. Hachiko masih menunggu di situ. Untuk menghangatkan badannya dia meringkuk di pojokan salah satu ruang tunggu. Sambil sesekali melompat menuju balkon setiap kali ada kereta datang, mengharap tuannya ada di antara para penumpang yang datang. Tapi selalu saja ia harus kecewa, karena Profesor Ueno tidak pernah datang. Bahkan hingga esoknya, dua hari kemu dian , dan berhari-hari berikutnya dia tidak pernah datang. Namun Hachiko tetap menunggu dan menunggu di stasiun itu, mengharap tuannya kembali. Tubuhnya pun mulai menjadi kurus.
Para pegawai stasiun yang kasihan melihat Hachiko dan penasaran kenapa Profesor Ueno tidak pernah kembali mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Akhirnya didapat kabar bahwa Profesor Ueno telah meninggal dunia, bahkan telah dimakamkan oleh kerabatnya.
Mereka pun berusaha memberi tahu Hachiko bahwa tuannya tak akan pernah kembali lagi dan membujuk agar dia tidak perlu menunggu terus. Tetapi anjing itu seakan tidak percaya, atau tidak peduli. Dia tetap menunggu dan menunggu tuannya di stasiun itu, seakan dia yakin bahwa tuannya pasti akan kembali. Semakin hari tubuhnya semakin kurus kering karena jarang makan.
Akhirnya tersebarlah berita tentang seekor anjing yang setia terus menunggu tuannya walaupun tuannya sudah meninggal. Warga pun banyak yang datang ingin melihatnya. Banyak yang terharu. Bahkan sebagian sempat menitikkan air matanya ketika melihat dengan mata kepala sendiri seekor anjing yang sedang meringkuk di dekat pintu masuk menunggu tuannya yang sebenarnya tidak pernah akan kembali. Mereka yang simpati itu ada yang memberi makanan, susu, bahkan selimut agar tidak kedinginan.
Selama 9 tahun lebih, dia muncul di station setiap harinya pada pukul 3 sore, saat dimana dia biasa menunggu kepulangan tuannya. Namun hari-hari itu adalah saat dirinya tersiksa karena tuannya tidak kunjung tiba. Dan di suatu pagi, seorang petugas kebersihan stasiun tergopoh-gopoh melapor kepada pegawai keamanan. Sejenak kemu dian suasana menjadi ramai. Pegawai itu menemukan tubuh seekor anjing yang sudah kaku meringkuk di pojokan ruang tunggu. Anjing itu sudah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada sang tuannya pun terbawa sampai mati.
Warga yang mendengar kematian Hachiko segera berduyun-duyun ke stasiun Shibuya. Mereka umumnya sudah tahu cerita tentang kesetiaan anjing itu. Mereka ingin menghormati untuk yang terakhir kalinya. Menghormati sebuah arti kesetiaan yang kadang justru langka terjadi pada manusia.

Mereka begitu terkesan dan terharu. Untuk mengenang kesetiaan anjing itu mereka kemu dian membuat sebuah patung di dekat stasiun Shibuya. Sampai sekarang taman di sekitar patung itu sering dijadikan tempat untuk membuat janji bertemu. Karena masyarakat di sana berharap ada kesetiaan seperti yang sudah dicontohkan oleh Hachiku saat mereka harus menunggu maupun janji untuk datang. Akhirnya patung Hachiku pun dijadikan symbol kesetiaan. Kesetiaan yang tulus, yang terbawa sampai mati.
diambil dari : http://mirianto.com/articles/kisah-hachikosi-patung-anjing-di-shibuya/